Pudarnya Pesona Cleopatra
Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam
kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah
kukenal." Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di
pesantren Mangkuyudan Solo dulu"
kata ibu.
"Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan
besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon
keikhlasanmu" , ucap beliau dengan nada mengiba.
Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah.
Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin
menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus
mengorbankan diriku.
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun
sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang
begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya
kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa
berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai.
Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata
Aida adikku, ia memang baby face dan anggun.
Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama
sekali.
Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, "cantiknya alami, bisa
jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku
lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir
titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita,
dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan
bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha
menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku
selalu sia-sia.
Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya
meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat
hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan emapt group
rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat
Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan
jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari
Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai.
Rabbighfir li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta,
hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-
ayatNya.
Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan
kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan
dipinggir kota Malang.
Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat
bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya
Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa
hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan
keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini
muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik
ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan
kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam,
acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu
atau ruang kerja.
Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia,
pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.
Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama,
karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi
kujawab " tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin
masih harus belajar berumah tangga" Ada kekagetan yang kutangkap
diwajah Raihana ketika kupanggil 'mbak', " kenapa mas memanggilku
mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku" tanyanya
dengan guratan wajah yang sedih. "wallahu a'lam" jawabku sekenanya.
Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian
dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, "Kalau mas tidak
mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad
nikah?
Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan,
kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku
harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah
sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi
menyempurnakan ibadahku didunia ini". Raihana mengiba penuh pasrah.
Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena
kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak
berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap
melayaniku menyiapkan segalanya untukku.
Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis
maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali
segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi
karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan
khawatir. "Mas tidak apa-apa" tanyanya dengan perasaan kuatir. "Mas
mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit
lagi mendidih" lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. "Mas
airnya sudah siap" kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku
langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana
telah berdiri didepan pintu membawa handuk. "Mas aku buatkan wedang
jahe" Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak
bisa kutahan.
Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. " Mas
masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai
balsam, minyak putih, atau jamu?" Tanya Raihana sambil menuntunku ke
kamar. "Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus
kulakukan untuk membantu Mas". " Biasanya dikerokin" jawabku
lirih. " Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin" sahut
Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang
dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan
sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana
membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku
merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak
jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku
kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis
gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.
Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya." Aku punya keponakan namanya Mona
Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu" kata Ratu Cleopatra. "
Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu
cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu". Aku mempersiapkan
segalanya. Tepat puku 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki
dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan
aku duduk di kursi yang berhias berlian.
Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba " Mas, bangun,
sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya" kata Raihana
membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. " Maafkan aku
Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya" lirih
Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat
malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang
terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus
harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia
berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu
dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-
benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai
Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa
dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.
" Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga
akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang
bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak
datang" Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman
Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde
kesukaanku dan segelas wedang jahe.
Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. "
Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana," lirihnya, lalu
perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. " Mbak! Eh
maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau
tercekak dalam tenggorokan. " Ya Mas!"
sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan
menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia
bahagia dipanggil "dinda". " Matanya sedikit berbinar. "Te..terima
kasih Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur,
insya Allah," ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang
kupaksakan.
Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum
bersinar dibibirnya. " Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau
pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja
yang memilihkan ya?".
Hana begitu bahagia.
Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar
mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya
selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau
tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya
belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku
sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama
ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak
juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku
mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku
sendiri di dunia ini.
Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana
membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana,
kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh
bangga. "
Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling
ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia
mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah.
Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku
menangis disebut pasangan ideal.
Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan
terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal
bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa
cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang
tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari
detik ke detik meneteskan rasa bahagia.
Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki
Raihana.
Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat
kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di
mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan,
kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang
dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku.
Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap
ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. " Sudah satu
tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya,
padahal aku ingin sekali menimang cucu" kata ibuku. " Insya Allah
tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah
begitu, Mas?" sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap
dan mengangguk sekenanya.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan
Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami
betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta,
dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku.
Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang
istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.
Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak
kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu
segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang
hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya" Mana
tanggung jawabmu!" Aku hanya diam dan mendesah sedih. " Entahlah,
betapa sulit aku menemukan cinta" gumamku.
Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki
bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya
dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia
kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku
mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal
dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, " Mas untuk
menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku
yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya sama dengan
tanggal pernikahan kita".
Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap
hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman.
Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot,
harus menyiapkan segalanya.
Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah
di Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat
aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa
tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala
pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada
Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau,
membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu
menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu
aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi.
Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat
Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada
Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat
sholat subuh.
Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus.
Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti
pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya
adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang
dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan
dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia
menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup
yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. "Apakah kamu sudah
menikah?" kata Pak Qalyubi. "Alhamdulillah, sudah" jawabku. " Dengan
orang mana?. " Orang Jawa". " Pasti orang yang baik ya. Iya kan?
Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk
menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan
pesantren. Istrimu dari pesantren?". "Pernah, alhamdulillah dia
sarjana dan hafal Al Quran". " Kau sangat beruntung, tidak
sepertiku". " Kenapa dengan Bapak?" " Aku melakukan langkah yang
salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu
batinku tidak merana seperti sekarang". " Bagaimana itu bisa
terjadi?". "
Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dank arena
terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya
begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya
berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak
kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya
waktu, tahun pertama saya lulus dengan predkat jayyid, predikat yang
cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia.
Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah
tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak
gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan
pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk
itu. Saya bersumpah tidak akan menikaha dengan siapapun kecuali dia.
Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta
saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri
hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan
menikahinya. Saya memilih yang kedua.
Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan
begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari
mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu
lebih selamat dari pada dengan YAsmin yang awam pengetahuan
agamanya. Tetpai saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya
yang tinggi saya berhasil menikahi YAsmin.
Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir.
Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu
selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di
Mesir dijual untuk modal di Indonesia. KAmi langsung membeli rumah
yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun pertama hidup kami
berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok
orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan YAsmin.
Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang
ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta YAsmin
untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali YAsmin
tidak bisa.
Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak
terpenuhi.
Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya
mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni
Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa
mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai
masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika
saya pengin rending, saya harus ke warung. YAsmin tidak mau tahu
dengan masakan Indonesia.
Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan
namanya.
Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak
penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut,
saya minta YAsmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau.
Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan
sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.
Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah
diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang
terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah,
yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin
saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis
saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah,
dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang
menyakitkan. " Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku
minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki
Mesir".
Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia
bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman
lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.
Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan.
Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya
dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun
keluarganya yang membelaku.
Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita
bohong.
Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya
mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat
nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si
sulung menggigau meminta ibunya pulang".
Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan
hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya
terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bualn aku berpisah
dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri
yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang
keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan
Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum
terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa
yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya?
Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat
pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.
Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke took baju muslim, aku
ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi.
Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut
kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke
kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah
bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas Merah jambu. Hatiku
berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku
belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini
surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku
serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan
Rabbi�?�ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana
yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian
mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri
untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah
tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap
setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya.
Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.
"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal
hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan
karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok
kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran
dalam diri hamba" tulis Raihana.
Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa" Ya Allah inilah hamba-Mu yang
kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu,
melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan
ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa
begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku.
Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa
kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah,
jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini
cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.
Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena
kelalaiannya.
Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta
hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan
untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu
bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta
ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya
Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah
kecuali Engkau, Maha Suci Engkau".
Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru
yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan
Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan
dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut,
tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang
mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada
angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku.
Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana
yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba
begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-
kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar
waktu untuk membagi Cintaku dengan Raihana.
Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang
menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua,
nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air
mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis
tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. " Mana Raihana
Bu?". Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa
sebenarnya yang telah terjadi.
" Raihanaï...istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya" . " Ada
apa dengan dia". " Dia telah tiada". " Ibu berkata apa!". " Istrimu
telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi.
Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat.
Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala
kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu.
Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta
maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau
meridhionya" .
Hatiku bergetar hebat. " kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?". "
Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang
untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi
ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin
mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu
ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami
sangat sedih, Jadi Maafkanlah kami".
Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku
merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus
dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia
telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan
padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah
menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.
Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru
dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan.
Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan
rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin
Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua ........
(dapet copas gan.... ^_^)
No comments:
Post a Comment