Thursday, 24 January 2013

Cerpen Pudarnya Pesona Cleopatra

Pudarnya Pesona Cleopatra 

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam 
kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah 
kukenal." Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di 
pesantren Mangkuyudan Solo dulu" 
kata ibu.
"Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan 
besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon 
keikhlasanmu" , ucap beliau dengan nada mengiba. 
Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. 
Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin 
menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus 
mengorbankan diriku.
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun 
sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang 
begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya 
kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa 
berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. 
Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata 
Aida adikku, ia memang baby face dan anggun. 
Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama 
sekali. 
Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, "cantiknya alami, bisa 
jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku 
lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir 
titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, 
dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan 
bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha 
menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku 
selalu sia-sia.
Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya 
meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat 
hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan emapt group 
rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat 
Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan 
jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari 
Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. 
Rabbighfir li wa liwalidayya!
Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, 
hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat- 
ayatNya. 
Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan 
kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan 
dipinggir kota Malang.
Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat 
bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya 
Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa 
hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan 
keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini 
muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik 
ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan 
kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, 
acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu 
atau ruang kerja. 
Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, 
pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia. 
Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, 
karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi 
kujawab " tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin 
masih harus belajar berumah tangga" Ada kekagetan yang kutangkap 
diwajah Raihana ketika kupanggil 'mbak', " kenapa mas memanggilku 
mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku" tanyanya 
dengan guratan wajah yang sedih. "wallahu a'lam" jawabku sekenanya. 
Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian 
dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, "Kalau mas tidak 
mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad 
nikah?
Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, 
kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku 
harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah 
sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi 
menyempurnakan ibadahku didunia ini". Raihana mengiba penuh pasrah. 
Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena 
kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak 
berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap 
melayaniku menyiapkan segalanya untukku. 
Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis 
maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali 
segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi 
karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan 
khawatir. "Mas tidak apa-apa" tanyanya dengan perasaan kuatir. "Mas 
mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit 
lagi mendidih" lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. "Mas 
airnya sudah siap" kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku 
langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana 
telah berdiri didepan pintu membawa handuk. "Mas aku buatkan wedang 
jahe" Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak 
bisa kutahan. 
Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. " Mas 
masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai 
balsam, minyak putih, atau jamu?" Tanya Raihana sambil menuntunku ke 
kamar. "Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus 
kulakukan untuk membantu Mas". " Biasanya dikerokin" jawabku 
lirih. " Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin" sahut 
Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang 
dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan 
sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana 
membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku 
merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak 
jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku 
kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis 
gadis-gadis mesir titisan Cleopatra. 
Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya." Aku punya keponakan namanya Mona 
Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu" kata Ratu Cleopatra. " 
Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu 
cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu". Aku mempersiapkan 
segalanya. Tepat puku 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki 
dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan 
aku duduk di kursi yang berhias berlian. 
Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba " Mas, bangun, 
sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya" kata Raihana 
membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. " Maafkan aku 
Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya" lirih 
Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat 
malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang 
terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus 
harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia 
berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya. 
Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu 
dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar- 
benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai 
Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa 
dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra. 
" Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga 
akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang 
bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak 
datang" Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman 
Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde 
kesukaanku dan segelas wedang jahe. 
Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. " 
Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana," lirihnya, lalu 
perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. " Mbak! Eh 
maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau 
tercekak dalam tenggorokan. " Ya Mas!" 
sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan 
menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia 
bahagia dipanggil "dinda". " Matanya sedikit berbinar. "Te..terima 
kasih Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, 
insya Allah," ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang 
kupaksakan.
Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum 
bersinar dibibirnya. " Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau 
pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja 
yang memilihkan ya?". 
Hana begitu bahagia.
Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar 
mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya 
selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau 
tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya 
belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku 
sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama 
ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak 
juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku 
mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku 
sendiri di dunia ini.
Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana 
membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, 
kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh 
bangga. " 
Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling 
ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia 
mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. 
Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku 
menangis disebut pasangan ideal. 
Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan 
terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal 
bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa 
cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang 
tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari 
detik ke detik meneteskan rasa bahagia. 
Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki 
Raihana. 
Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat 
kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di 
mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, 
kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang 
dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. 
Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap 
ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. " Sudah satu 
tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, 
padahal aku ingin sekali menimang cucu" kata ibuku. " Insya Allah 
tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah 
begitu, Mas?" sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap 
dan mengangguk sekenanya.
Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan 
Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami 
betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, 
dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. 
Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang 
istri. Raihana hamil. Ia semakin manis. 
Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak 
kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu 
segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang 
hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya" Mana 
tanggung jawabmu!" Aku hanya diam dan mendesah sedih. " Entahlah, 
betapa sulit aku menemukan cinta" gumamku. 
Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki 
bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya 
dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia 
kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku 
mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal 
dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, " Mas untuk 
menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku 
yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya sama dengan 
tanggal pernikahan kita".
Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap 
hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. 
Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, 
harus menyiapkan segalanya. 
Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah 
di Mesir.
Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat 
aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa 
tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala 
pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada 
Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, 
membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu 
menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu 
aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. 
Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat 
Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada 
Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat 
sholat subuh.
Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. 
Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti 
pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya 
adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang 
dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan 
dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia 
menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup 
yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. "Apakah kamu sudah 
menikah?" kata Pak Qalyubi. "Alhamdulillah, sudah" jawabku. " Dengan 
orang mana?. " Orang Jawa". " Pasti orang yang baik ya. Iya kan? 
Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk 
menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan 
pesantren. Istrimu dari pesantren?". "Pernah, alhamdulillah dia 
sarjana dan hafal Al Quran". " Kau sangat beruntung, tidak 
sepertiku". " Kenapa dengan Bapak?" " Aku melakukan langkah yang 
salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu 
batinku tidak merana seperti sekarang". " Bagaimana itu bisa 
terjadi?". "
Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dank arena 
terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya 
begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya 
berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak 
kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya 
waktu, tahun pertama saya lulus dengan predkat jayyid, predikat yang 
cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia. 
Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah 
tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak 
gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan 
pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk 
itu. Saya bersumpah tidak akan menikaha dengan siapapun kecuali dia. 
Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta 
saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri 
hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan 
menikahinya. Saya memilih yang kedua. 
Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan 
begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari 
mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu 
lebih selamat dari pada dengan YAsmin yang awam pengetahuan 
agamanya. Tetpai saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya 
yang tinggi saya berhasil menikahi YAsmin. 
Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir.
Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu 
selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di 
Mesir dijual untuk modal di Indonesia. KAmi langsung membeli rumah 
yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun pertama hidup kami 
berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok 
orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan YAsmin. 
Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang 
ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta YAsmin 
untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali YAsmin 
tidak bisa.
Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak 
terpenuhi. 
Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya 
mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni 
Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa 
mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai 
masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika 
saya pengin rending, saya harus ke warung. YAsmin tidak mau tahu 
dengan masakan Indonesia.
Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan 
namanya. 
Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak 
penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, 
saya minta YAsmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. 
Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan 
sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir. 
Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah 
diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang 
terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, 
yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin 
saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis 
saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, 
dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang 
menyakitkan. " Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku 
minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki 
Mesir". 
Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia 
bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman 
lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal. 
Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. 
Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya 
dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun 
keluarganya yang membelaku. 
Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita 
bohong. 
Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya 
mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat 
nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si 
sulung menggigau meminta ibunya pulang". 
Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan 
hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya 
terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bualn aku berpisah 
dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri 
yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang 
keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan 
Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum 
terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa 
yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? 
Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat 
pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya. 
Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke took baju muslim, aku 
ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. 
Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut 
kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke 
kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah 
bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas Merah jambu. Hatiku 
berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku 
belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini 
surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku 
serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan 
Rabbi�?�ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana 
yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian 
mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri 
untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah 
tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap 
setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. 
Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku. 
"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal 
hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan 
karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok 
kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran 
dalam diri hamba" tulis Raihana. 
Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa" Ya Allah inilah hamba-Mu yang 
kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, 
melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan 
ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa 
begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. 
Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa 
kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, 
jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini 
cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku. 
Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena 
kelalaiannya. 
Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta 
hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan 
untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu 
bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta 
ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya 
Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah 
kecuali Engkau, Maha Suci Engkau". 
Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru 
yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan 
Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan 
dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, 
tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang 
mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada 
angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. 
Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana 
yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba 
begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat- 
kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar 
waktu untuk membagi Cintaku dengan Raihana. 
Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang 
menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, 
nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air 
mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis 
tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. " Mana Raihana 
Bu?". Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa 
sebenarnya yang telah terjadi.
" Raihanaï...istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya" . " Ada 
apa dengan dia". " Dia telah tiada". " Ibu berkata apa!". " Istrimu 
telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. 
Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. 
Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala 
kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. 
Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta 
maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau 
meridhionya" . 
Hatiku bergetar hebat. " kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?". " 
Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang 
untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi 
ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin 
mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu 
ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami 
sangat sedih, Jadi Maafkanlah kami". 
Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku 
merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus 
dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia 
telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan 
padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah 
menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira. 
Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru 
dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. 
Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan 
rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin 
Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua ........ 

(dapet copas gan.... ^_^)

No comments:

Post a Comment