Sang Bidadari dari Surga
karya : kang tris
Suatu pagi di
sebuah pesantren di
Karanggedang Bukateja terlihat
seorang gadis
berwajah ayu duduk
termenung di sebuah
sudut ruangan. Tatapan matanya terlihat
sedikit sendu. Sedangkan
disampingnya terlihat seorang
ibu yang sudah
renta
menemani gadis itu.
Sementara itu, didalam masjid tampak Kyai
Ilyas masih menunaikan
sholat dhuha
sedangkan para santri terlihat ada yang sedang membersihkan
halaman, ada juga yang
masih terlihat
membaca sebuah kitab kuning. Sementara disisi
lain, terlihat beberapa
santri yang terlihat
lebih berumur bersiap
– siap sambil
menjinjing kitab ”Ihya
’Ulumuddin”, karena kebetulan hari itu jadwal kajian kitab
tersebut.
Setelah beberapa lama, terlihat Kyai Ilyas turun dari masjid
menuju rumah. Umurnya
sudah termasuk udzur, langkahnya pelan serta sedikit
menunduk ke depan, sementara
di tangan kanannya masih tampak memegang seutas tasbih.
” Wis suwe Na ?”
tanya Kyai Ilyas kepada putrinya.
”Belum kok, bah.” jawab Ana.
Rupanya yang datang
adalah putri Kyai
Ilyas sendiri. Ana
Nuraeni namanya.
Kemudian
terlihat Ana dan
Kyai Ilyas ngobrol
kesana kemari tentang
kondisi
keluarga. Rupanya Ana
adalah putri sulung Kyai
Ilyas yang sudah
berumah tangga
dengan Ghufron,
santri dari Kyai
Ilyas sendiri. Mereka kebetulan
tinggal di Desa
Kutawis, tidak
jauh dari pesantren
Kyai Ilyas. Ghufron
sehari – hari
mengajar di
sebuah Madrasah
Aliyah di Purbalingga, sedangkan
Ana sendiri menyibukan hari –
harinya dengan memberikan kursus
bahasa arab secara
privat ke beberapa
anak di
Bukateja, Kemangkon,
Rakit, bahkan di Purbalingga.
”Bah, kebetulan
sekarang yang minta kursus privat bahasa arab semakin banyak, nih
bah.” Ana mulai
berbicara serius kepada Kyai Ilyas. ”Wah bagus itu, berarti
ladang
beramal kamu semakin banyak.” jawab Kyai
Ilyas. ”Namun begini bah, waktu saya
semakin banyak
yang tersita, sehingga
pekerjaan di rumah
mulai keteteran, apa
sebaiknya Ana ambil
pembantu dari santri Abah ?” tanya Ana
Nuraeni kepada Kyai
Ilyas.
”Wah, itu ga apa –
apa, kalau memang menurut kamu merasa bermanfaat.” kata Kyai
Ilyas. Namun
sesaat kemudian Kyai
Ilyas, melanjutkan kata
– katanya, ”
Namun
demikian, bolehkah
abahmu ini sedikit
bercerita tentang seorang
bidadari surga.”
Bidadari siapa
bah ?” tanya
Ana. ”Bidadari itu
bernama Fatimah az
Zahra, puteri
Rasulullah saw”.
”Suatu hari
Ali mendengar bahwa
Rasulullah saw mendapat
beberapa orang
budak. Maka
iapun meminta kepada
Fatimah untuk pergi
menemui Rasulullah
guna meminta
salah satu budak
agar bisa meringankan
pekerjaan Fatimah.
Pergilah Fatimah
memenuhi permintaan Ali,
tapi sesampainya di
tempat
Rasulullah ia malu
menyampaikan maksud kedatangannya, iapun pamit pulang.
Sesampainya di rumah
ia menceritakannya pada Ali. Lalu Ali mengajak Fatimah
kembali menemui
Rasulullah, karena Fatimah
diam saja, akhirnya
Ali lah yang
meminta kepada Rasulullah
untuk memberi mereka salah
satu budak agar
bisa
meringankan
pekerjaan Fatimah. Tapi
Rasulullah tidak bisa
mengabulkan
permintaan
keduanya, karena hasil
penjualan budak-budak tersebut
akan
dibelikan makanan untuk para fakir miskin.
Pulanglah pasangan tersebut tanpa ada sedikitpun rasa kecewa
di hati keduanya
Tapi pemandangan itu
menyentuh hati Rasulullah
sebagai seorang ayah
Malamnya Rasulullah
mendatangi putrinya Fatimah,
beliau bersabda: "Maukah
kalian berdua aku
beri sesuatu yang
lebih baik dari
apa yang kalian
minta?
keduanya menjawab dengan serentak: "tentu ya
Rasulullah." Rasulullah berkata
"kalimat yang diajarkan Jibril ; Membaca tasbih 10
kali, tahmid 10 kali dan takbi
10 kali setiap
selesai sholat. Dan apabila kalian hendak
tidur bacalah tasbih 33
kali , tahmid 33 kali dan takbir 34 kali."
Kisah Fatimah az
Zahra, tidak hanya
itu saya yakin
kamu masih ingat
Naseha
Rasulullah saw kepada Siti Fatimah tentang penggilingan gandum kan ?” tanya Kya
lyas. ” Tentu masih ingat bah.” jawab Ana sambil menunduk.
Saya yakin kamu bisa membayar gaji pembantu itu, namun yang belum saya yakin
dalah niatmu mengambil pembantu itu. Apakah benar – benar ikhlas membagi ilmu
ahasa arabmu ? atau karena
terpancing mengejar banyaknya bayaran dari kursusmu
tu ? ” begitu ungkapan Kyai Ilyas kepada putrinya.
Mendengar pertanyaan dari Abahnya, Ana tertunduk malu, kemudian ia berkata
lirih
epada Abahnya, ”
saya malu bah,
malu kepada keluhuran
akhlak puteri bagind
Rasulullah saw, dan malu karena niat saya yang belum lurus”.
No comments:
Post a Comment